Komersialisasi Pendidikan Tinggi

Komersialisasi merupakan perbuatan menjadikan sesuatu sebagai barang dagangan. Maka dapat dikatakan bahwa komersialisasi pendidikan berarti menjadikan pendidikan sebagai barang dagangan. Komersialisasi pendidikan atau mengomersialisasikan pendidikan kerap ditimpakan kepada kebijakan atau langkah-langkah yang menempatkan pendidikan sebagai sektor jasa yang diperdagangkan. komersialisasi pendidikan tidaklah salah bahkan terkadang sangat diperlukan demi berlangsungnya proses pendidikan. Tetapi ketika dalam proses pendidikan yang menjadi tujuan utamanya adalah mencari keuntungan dengan kata lain hal yang menonjolnya adalah komersialisasinya saja. Maka esensi dari pada proses pendidikan tidak akan lagi dirasakan dan tersampaikan kepada peserta didik.
PP No 61 Tahun 1999 tentang penetapan perguruan tinggi berbadan hukum miliki negara yang mendapat otonomi dalam pengelolaan dana dan proses pencarian dana bagi biaya operasionalnya. Peraturan ini kemudian digantikan dengan PP No 17 Tahun 2010 setelah pengesahan UU No 9 Tahun 2009 yang pada akhirnya dibatalkan Mahkamah Konstitusi.
Namun semua itu tidak terhenti sampai disitu tetapi peraturan ini kemudian bertransformasi dan berganti bentuk menjadi UU No 12 Tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi yang subtansinya sama yaitu memberikan otonomi bagi perguruan tinggi untuk melaksanakan kemitraan dan kerjasama dengan pihak swasta dalam rangka memenuhi minimnya biaya untuk penelitian dan operasional pendidikannya. Dalam UU NO 12 Tahun 2012 yang juga menitikberatkan peran partisipasi masyarakat dalam pendidikan yang cenderung disalahartikan untuk menyerap dana dari masyarakat seperti uang kuliah mahasiswa.
Menurut UUD 1945 bahwa tujuan pendidikan adalah mecerdaskan kehidupan bangsa.Hal itu tidak akan pernah tercapai yang ada hanyalah hasil dari proses pendidikan hanya mencetak manusia yang hanya siap bekerja dan menghargai segalanya hanya dengan uang dan materi saja. Karena dia menanggap dia mendapatkan ilmu dengan uang,masuk kerja dengan uang, sekolah membayar mahal dengan uang akhirnya sesudah lulus dan kerja bagaimana caranya dia mendapakan uang lahi untuk menyokalahkan anak-anaknya.
Peserta didik yang menjalani pendidikan dan di didik dilingkungan pendidikan yang komersil maka lingkungan pendidikan yang komersil itu akan secara langsung membawa implikasi negative kepada peserta didik. Sehingga orang yang dihasilkan dari proses pendidikan itu adalah orang-orang yang komesil pula.
Aspek-aspek yang melatarbelakangi komersialisasi pendidikan,yaitu:
1.Aspek Politik
Pendidikan yang merupakan kebutuhan dasar manusia dan yang harus dipenuhi oleh setiap manusia juga memiliki aspek politik karena dalam pengelolaan harus berdasarkan ideologi yang dianut negara. Adapun ideologi pendidikan kita adalah ideologi demokrasi Pancasila, yaitu setiap warga negara mendapat kebebasan dan hak yang sama dalam mendapat pendidikan. Dalam Pembukaan UUD 45 pada alinea ke-4 , hal ini pun tercermin ada kalimat mencerdaskan kehidupan bangsa. Atas dasar itu sudah seharusnya pemerintah dalam menetapkan setiap kebijakan pendidikan merujuk pada ideologi negara. Akan tetapi dalam kenyataannya melalui pemerintah mengeluarkan peraturan (PP) No. 61 Tahun 1999 tentang Penetapan Perguruan Tinggi sebagai Badan Hukum, pemerintah telah memberikan otonomi pada perguruan tinggi dalam mengelola pendidikan lembaganya termasuk pencarian dana bagi biaya operasionalnya. Apabila pendidikan tetap mahal dan dikomersialisasikan, masyarakat yang kurang mampu tidak akan dapat meningkatkan status sosial mereka, dan ironisnya komersialisasi pendidikan ini didukung oleh tatanan sosial dan diterima oleh masyarakat.
2. Aspek Budaya
Bangsa kita mengagungkan gelar akademis dan sebagai contoh dihampir setiap dinding rumah yang keluarganya berpendidikan selalu terpajang foto wisuda anggota keluarga lulusan dari universitas manapun. Hal ini menunjukkan bahwa bangsa kita masih menganut budaya yang degree minded. Budaya berburu gelar ini berkembang pada lembaga pemerintah yang mengangkat atau mempromosikan pegawai yang memiliki gelar sarjana tanpa terlebih dahulu diteliti dan dites kemampuan akademik mereka. Ironisnya program pendidikan seperti ini banyak diminati oleh pejabat-pejabat.
3. Aspek Ekonomi
Ekonomi sudah pasti kita akan membicarakan aspek ekonomi terkait dengan masalah biaya. Biaya pendidikan nasional seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah, akan tetapi dengan keluarnya UUNo. 20 Tahun 2003 pada bab XIV pasal 50 ayat 6 dinyatakan bahwa perguruan tinggi menentukan kebijakan dan memiliki otonomi dalam mengelola pendidikan lembaganya. Hal ini menunjukkan ketidakmampuan pemerintah membiayai pendidikan nasional, khususnya pendidikan tinggi yang dulu mendapat subsidi dari pemerintah sebanyak75% dan 25% lagi berasal dari biaya masyarakat termasuk dana SPP.
4.Aspek Sosial
Pendidikan sangat menentukan perubahan strata sosial seseorang, yaitu semakin tinggi pendidikan seseorang, akan semakin meningkat pula strata sosialnya, begitu juga sebaliknya. Sesuai dengan pendapat Kartono (1997: 97) yang menyatakan: tingginya tingkat pendidikan dan tingginya taraf kebudayaan rakyat akan menjadi barometer bagi pertumbuhan bangsa dan negara yang bersangkutan. Akan tetapi bagaimana orang dapat mencapai pendidikan tinggi apabila biaya pendidikan tersebut mahal dan hanya dapat dinikmati oleh masyarakat golongan ekonomi mapan saja. lantas bagaimana dengan masyarakat golongan ekonomi lemah.
5.Aspek Teknologi
Dengan berkembang pesatnya teknologi maka semakin menuntut sekolah-sekolah untuk menunjang berbagai fasilitas yang mendukung kegiatan belajar mengajar. Tapi, tak jarang lembaga pendidikan menjadikannya sebagai tameng untuk melakukan komersialisasi pendidikan. Biasanya lembaga pendidikan berujar, “Ini dilakukan agar para peserta didik bisa mengikuti perkembangan teknologi yang dari hari ke hari semakin maju. “Oleh karena, uang masuk ataupun SPP di sekolah ataupun perguruan tinggi semakin mahal, implikasinya peserta didik yang berasal dari ekonomi menengah ke bawah tidak bisa menyanggupinya. Ujung-ujungnya, mereka ketinggalan dalam hal teknologi. Padahal dengan perkembangan teknologi bisa meningkatkan kualitas sumber daya manusia, kesejahteraan, dan kehidupan bangsa.
Dalam pembahasan ini ditemukan dua permasalahan pokok yang menjadi penyebab awal tumbuhnya ketidakadilan bagi masyarakat ekonomi rendah. Pertama data kependudukan dan catatan sipil kita sangat tidak mendukung untuk mengidentifikasi masyarakat ekonomi lemah yang pantas dan layak menerima bantuan biaya pendidikan. Sehingga tidak ada dasar real yang menjadi dasar kuat untuk mengakomodasi kebutuhan biaya pendidikan ini agar tidak salah sasaran. Data kependudukan dan catatan sipil yang sangat dibutuhkan adalah integrasi dan akurasi data mengenai penduduk dari segala aspek mulai dari ekonomi hingga sosialnya. Sehingga akan mudah mengidentifikasi dan menyalurkan dana bantuan dengan tepat sasaran. Untuk mencapai hal ini pemerintah butuh membangkitkan budaya peduli akan pencatatan dan pendataan penduduk pada masyarakat. Selain itu pemerintah harus membangun kompetensi aparat dalam melaksanakan dan menghasilkan data dan catata sipil yang dibutuhkan.
Kedua pembanguan perguruan tinggi harusnya memperhatikan aspek demografi untuk memenuhi aspek kebutuhan akan pendidikan dan menghindarkan pembebanan terhadap suatu wilayah saja. Selain itu perlua adanya transfer kualitas agar terjadi kesetaraan antar perguruan tinngi sehingga yang bersaing hanya kemampuan dan kompetensi mahasiswa bukan lagi tenaga pengajar dan kelebihan sarana prasarana.
Munculnya komersialisasi pendidikan adalah sebagai akibat dari pelepasan tanggung jawab pemerintah yang telah mencabut subsidi pembiayaan terutama pada perguruan tinggi dan pemberian hak otonomi serta status BHMN pada perguruan tinggi negeri. Dewasa ini seperti yang sudah diketahui dana APBN sebesar 20% tidak dapat mencegah makin maraknya komersialisasi pendidikan diIndonesia, belum lagi pendidikan yang seyogyanya dijadikan jasa yang dapat dinikmati setiap orang seolah-olah menjadi komoditas utama yangdapat bahkan harus dijual dengan harga tinggi.