top of page

Esensi dan Eksistensi

Persoalan esensi dan eksistensi, dimulai dari sejarah panjang dan tak bisa terlepas dari sajarah filsafat. Filsafat yang mempersoalkan kebenaran hakiki atau makna terdalam akan sesuatau erata kaitannya dengan esensi maupun eksistensi. Dalam filsafat yang mempersoalkan kebenaran, terdapat tiga kebenaran yakni ;

Kebenaran ;

  • Korespondensi ; kebenaran antara ide dan ide, misalnya berdasar atas perkataan orang/idea seseorang yang dikonsepsikan kembali oleh orang lain. Kebenaran ini terkait dengan kesalahan berpikir.

  • Koherensi ; idea dan realitas ( keselerasan)

  • Pragmatis ; berdasar manfaat, guna.

Realitas ;

  • Esensi

  • Eksistensi

Filsafat;

  • Sejarah ; kuno dan klasik

  • Isi ; ontologi, epistemologi, axiologi

Persoalan esensi dan eksistensi telah menjadi perdebatan manusia semenjak lama, dimulai dari persoalan alam yang menjadi inti perdebatan antara esensi alam dan eksistensi alam semesta. Beberapa filsuf kuno, menyatakan air atau arkhe merupakan esensi dari alam semesta karena tanpa adanya air tak akan ada manusia yang sanggup hidup. Selain persoalan alam yang menjadi perdebatan, persoalan manusia dan persoalan tuhan juga diperdebatkan. Berkaitan dengan persoalan manusia, pertanyaan-pertanyaan seperti “esensi dari manusia sebenarnya apa?, penciptaan manusia oleh sang pencipta sebenarnya untuk apa? Jika sang pencipta mencipta manusia untuk menjadi hamba dan khalifah mengapa banyak manusia yang melakukan tindak kejahatan di muka bumi dan mengingkari esensi penciptaannya.

kaum eksistensialis kemudian muncul dengan mengajukan pernyataan bahwa manusia merupakan makhluk sempurna dengan kehendak bebasnya, dan dengan kehendaknya berarti ia berhak menentukan arah hidupnya tanpa terkekang dari perintah orang lain, eksistensinya menjadikan ia berkehendak. Ia berbeda dengan benda atau alam, yang memiliki esensi penciptaan dan tak dapat bertindak sesuai dengan kehendaknya.

Eksistensialisme merupakan filsafat yang bersifat antropologis, karena memusatkan perhatiannya pada otonomi dan kebebasan manusia. Maka, sementara ahli memandang eksistensialisme sebagai salah satu bentuk dari humanisme. Hal ini juga diakui oleh Jean-Paul Sartre, sang filsuf eksistensialis yang sangat terkenal.

Kalangan eksistensialis mulai muncul di era filsafat modern,dengan tokohnya seperti sartre, dan albert camus. Kalangan ini muncul dan berlatar belakang dari pandagannya terhadap manusia akibat dari perang dunia, baik PD-I maupun PD-II. Eksistensialisme juga sering disebut sebagai respon dari materilisme dan idealisme akan pahamannya dari substansi manusia. Manusia yang saat itu mulai mengindahkan dan mulai putus asa akan esensi dirinya dan mempertanyakan “untuk apa diciptakan, jika yang terjadi ialah perang dan justru menyengsarakan tiap sendi kehidupannya”, kalangan eksistensialis kemudian muncul dengan asumsi bahwa manusia masih dapat eksis di dunia karena ia adalah makhluk berkehendak dan memiliki kebebasan. Pada manusialah eksistensi mendahului esensi sebab manusia selalu berhadapan dengan kemungkinan untuk mengatakan tidak. Manusia adalah satu-satunya makhluk di mana eksistensi mendahului esensi sedangkan makhluk di bawah manusia esensi mendahului eksistensi. Karena itu esensi manusia tidak dapat ditentukan. Hanya ketiadaan yang dapat memisahkan manusia dengan esensinya. Selama manusia masih hidup, ia akan selalu bebas untuk mengatakan tidak.

Konsep pemikiran sartre berkaitan erat dengan fenomenologi sebab ia memahami metode fenomenologi sebagai metode yang sangat menekankan fenomen atau tampaknya sesuatu dan ia menganggap bahwa kesadaran bersifat intensional yang terarah pada sesuatu di luar dirinya.

© 2014 by Himapem FISIP Unhas. Supported by  Wix.com

 No. 8 EdisiE Septeededewdwdswember

bottom of page